The DGT collaborates with Customs to reconcile export-import data. Discrepancies between reported tax returns and customs records often trigger audits.
Case Study:
A textile manufacturer reported exports worth USD 75 million in its corporate tax return. However, Customs data showed USD 90 million in exports. The USD 15 million gap raised questions from the DGT. Further investigation revealed that part of the exports was routed through a Singaporean affiliate acting as a trading hub. As a result, some revenues were not fully recorded in Indonesian tax filings. Without proper transfer pricing documentation, this discrepancy could have been treated as tax avoidance.
Lesson: Companies engaged in cross-border trade must prepare thorough transfer pricing files and reconcile customs data with tax filings. Rahayu & Partner supports clients with detailed analyses to prevent major adjustments.
DJP bekerja sama dengan Bea Cukai untuk mencocokkan data ekspor dan impor. Jika nilai transaksi di SPT tidak sesuai dengan data kepabeanan, hal ini menjadi pemicu SP2DK atau pemeriksaan pajak.
Studi Kasus:
Sebuah perusahaan tekstil melaporkan ekspor sebesar USD 75 juta dalam SPT PPh Badan. Namun, data Bea Cukai menunjukkan ekspor senilai USD 90 juta. Selisih USD 15 juta ini memicu pertanyaan DJP. Setelah investigasi, ditemukan bahwa sebagian ekspor dilakukan melalui perusahaan afiliasi di Singapura yang bertindak sebagai trader. Nilai transaksi dicatat di luar negeri, sehingga tidak seluruhnya muncul di laporan pajak domestik. Tanpa justifikasi transfer pricing, selisih ini berpotensi dianggap sebagai penghindaran pajak.
Pelajaran: perusahaan dengan transaksi lintas negara harus menyiapkan dokumentasi transfer pricing dan rekonsiliasi antara laporan pajak dengan data kepabeanan. Rahayu & Partner mendampingi klien menyiapkan analisis lengkap untuk menghindari koreksi besar.
Komentar Anda