Contact Whatsapp085210254902

PPh 23 dan PPh 26: Risiko Umum Perusahaan Asing dan Cara Menghindarinya

Ditulis oleh Administrator pada Kamis, 23 Oktober 2025 | Dilihat 13kali
PPh 23 dan PPh 26: Risiko Umum Perusahaan Asing dan Cara Menghindarinya
Bagi perusahaan asing yang beroperasi atau bekerja sama dengan entitas di Indonesia, PPh Pasal 23 dan Pasal 26 merupakan dua jenis pajak yang paling sering menimbulkan perbedaan interpretasi dan koreksi saat pemeriksaan.
Kesalahan kecil dalam klasifikasi jasa, tarif, atau bukti pemotongan dapat berujung pada denda dan sanksi administrasi yang besar.
 
Dengan meningkatnya ketelitian sistem CoreTax DJP, setiap pembayaran lintas pihak kini dapat ditelusuri dan dibandingkan dengan laporan pajak pihak penerima maupun pemberi jasa.
Karena itu, pemahaman mendalam atas PPh 23 dan 26 menjadi bagian penting dari strategi kepatuhan pajak bagi perusahaan asing.
 
Perbedaan PPh 23 dan PPh 26 dalam Konteks Praktik
Jenis Pajak Subjek Pajak Objek Pajak Tarif Umum
PPh 23 Dikenakan atas penerima penghasilan dalam negeri Dividen, bunga, royalti, sewa, dan jasa tertentu 2% atau 15% tergantung jenis penghasilan
PPh 26 Dikenakan atas penerima penghasilan luar negeri (non-residen) Pembayaran atas bunga, royalti, jasa teknis, dan dividen ke luar negeri 20% atau sesuai tarif P3B (Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda)
 
Perbedaan utama terletak pada domisili penerima penghasilan.
Namun, dalam praktiknya, sering kali batas antara PPh 23 dan PPh 26 menjadi kabur — terutama dalam kasus pembayaran jasa kepada pihak asing yang dilakukan melalui afiliasi di Indonesia.
 
Kesalahan Umum yang Sering Ditemukan dalam Pemeriksaan
1. Salah Klasifikasi Jenis Jasa
 
Perusahaan sering keliru membedakan antara jasa manajemen, jasa teknis, dan jasa profesional.
Padahal, perbedaan ini menentukan tarif dan jenis pemotongan pajak yang berlaku.
 
Contoh Kasus:
PT IndoMach (anak perusahaan manufaktur asal Jepang) membayar biaya konsultasi teknis kepada kantor pusat di Tokyo. Dalam pelaporannya, perusahaan menganggap pembayaran tersebut termasuk “jasa umum” yang dikenai PPh 23 sebesar 2%.
Namun, DJP menilai jasa tersebut adalah jasa teknis yang dilakukan oleh pihak luar negeri — sehingga seharusnya dikenai PPh 26 sebesar 20%. Akibatnya, timbul koreksi pajak yang signifikan.
 
2. Tidak Memanfaatkan P3B (Tax Treaty) dengan Benar
 
Indonesia memiliki lebih dari 70 perjanjian pajak berganda (P3B) dengan negara lain.
Sayangnya, banyak perusahaan tidak memanfaatkan fasilitas tarif lebih rendah karena tidak menyertakan Certificate of Domicile (CoD) dari pihak asing.
 
Contoh:
PT Global Trading Indonesia membayar royalti ke Singapura senilai USD 200.000. Karena tidak melampirkan CoD, tarif yang seharusnya 10% (berdasarkan P3B Indonesia–Singapura) menjadi 20%.
Selisih 10% ini tidak dapat dikreditkan kembali, menyebabkan kerugian pajak dua kali lipat.
 
3. Tidak Ada Bukti Pemotongan yang Lengkap
 
DJP kini dapat mencocokkan data pembayaran melalui perbankan dan vendor dengan laporan SPT.
Jika bukti potong PPh 23/26 tidak dibuat atau tidak diunggah tepat waktu, sistem CoreTax akan otomatis memberi alert.
 
Contoh:
PT Asia Logistic Indonesia tidak membuat bukti potong untuk pembayaran jasa penyimpanan pihak ketiga selama 6 bulan. Saat pemeriksaan, DJP menemukan bukti transaksi dari laporan bank dan menganggap perusahaan belum menyetor pajak pemotongan.
Akibatnya, perusahaan dikenai pokok pajak plus denda 100% dari nilai PPh yang seharusnya dipotong.
 
4. Tidak Membedakan Permanent Establishment (BUT) dan Non-BUT
 
Beberapa perusahaan asing beroperasi di Indonesia tanpa mendirikan badan hukum lokal.
Jika aktivitasnya dianggap memiliki tempat usaha tetap (BUT), maka perlakuan pajaknya sama seperti entitas dalam negeri, bukan sekadar dipotong PPh 26.
 
Contoh:
Sebuah perusahaan teknik asal Jerman mengirim tenaga ahli selama 7 bulan untuk proyek konstruksi di Surabaya.
Meski tidak memiliki kantor di Indonesia, DJP menilai durasi dan aktivitasnya memenuhi syarat BUT.
Perusahaan akhirnya diwajibkan mendaftarkan NPWP dan membayar PPh Badan atas laba yang dihasilkan di Indonesia.
 
Langkah Strategis untuk Menghindari Risiko Koreksi
1. Review Kontrak Sebelum Pembayaran
 
Sebelum melakukan transaksi, pastikan kontrak memuat:
 
Jenis jasa secara rinci,
 
Lokasi pelaksanaan jasa,
 
Dan pembagian tanggung jawab antara pihak Indonesia dan pihak luar negeri.
 
Hal ini penting untuk menentukan apakah objek pajak termasuk PPh 23 atau PPh 26.
 
2. Gunakan Certificate of Domicile (CoD) untuk Transaksi Luar Negeri
 
Untuk menikmati tarif P3B, CoD wajib disertakan dan berlaku hanya selama 12 bulan.
Pastikan dokumen asli telah dilegalisasi oleh otoritas pajak negara asal dan diterjemahkan sesuai format DJP.
 
3. Buat Bukti Potong dan Laporan Masa Tepat Waktu
 
Bukti potong PPh 23/26 harus dibuat paling lambat akhir bulan berikutnya setelah pembayaran.
Keterlambatan pelaporan dapat menimbulkan sanksi administrasi dan risiko double taxation bagi penerima.
 
4. Lakukan Audit Internal Pajak (Tax Health Check)
 
Audit internal membantu mengidentifikasi apakah seluruh pembayaran kepada vendor, konsultan, atau afiliasi telah dilakukan pemotongan pajak yang benar.
Simulasi ini dapat mencegah koreksi besar saat pemeriksaan resmi.
 
5. Libatkan Konsultan Pajak Berpengalaman
 
Konsultan pajak yang memahami praktik internasional dan peraturan lokal Indonesia dapat membantu menafsirkan kontrak, menentukan tarif yang tepat, serta menyiapkan dokumen sesuai standar DJP.
 
Contoh Praktik Sukses (Disamarkan)
 
Salah satu klien Rahayu & Partner, perusahaan EPC (Engineering, Procurement, Construction) asal Eropa, menghadapi sengketa PPh 26 sebesar Rp 8 miliar karena perbedaan interpretasi atas jasa manajemen yang dilakukan oleh afiliasi luar negeri.
Tim Rahayu & Partner melakukan analisis kontrak, menyiapkan CoD yang valid, dan membuktikan bahwa sebagian jasa dilakukan di Indonesia oleh tenaga ahli lokal.
Hasilnya, nilai koreksi turun 70% dan perusahaan mendapatkan pengakuan sebagai wajib pajak patuh pada periode berikutnya.
 
Kesimpulan
 
PPh 23 dan PPh 26 sering kali tampak sederhana, namun implikasinya sangat besar bagi perusahaan asing di Indonesia.
Kesalahan klasifikasi, kelalaian administratif, atau ketidaksesuaian dokumen dapat berujung pada sanksi dan koreksi yang signifikan.
 
Dengan pendekatan strategis — mulai dari contract review, penggunaan CoD, hingga audit internal berkala — risiko tersebut dapat diminimalkan.
 
Di Rahayu & Partner, kami membantu perusahaan asing memastikan setiap transaksi memenuhi ketentuan pajak Indonesia dengan akurasi, transparansi, dan strategi yang tepat.
Kami tidak hanya membantu menyelesaikan masalah pajak, tetapi juga membangun sistem kepatuhan yang kuat dan berkelanjutan.
 
Karena dalam dunia perpajakan global, kepastian dan reputasi adalah dua aset terpenting bagi setiap bisnis.

Share this:

Komentar Anda

Jadilah yang pertama dalam memberi komentar pada berita / artikel ini
Silahkan Login atau Daftar untuk mengirim komentar
Disclaimer

Member Menu

Tentang Kami

Director of  Rahayu & Partner  (A brand of CV. Rahayu Damanik Consulting, Indonesia) Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh, Welcome to  Rahayu & Partner , the ... Lihat selengkapnya
  • Alamat Kami:
    Cibinong
  • 085210254902 (Telkomsel ) 087874236215 (XL)
  • konsultanpajakrahayu1@gmail.com
Developed by Naevaweb.com