Contact Whatsapp085210254902

Transfer Pricing di Era Transparansi Global: Risiko, Strategi, dan Solusi

Ditulis oleh Administrator pada Kamis, 23 Oktober 2025 | Dilihat 14kali
Transfer Pricing di Era Transparansi Global: Risiko, Strategi, dan Solusi

Dalam lanskap bisnis global saat ini, transfer pricing tidak lagi hanya dianggap sebagai isu teknis pajak, melainkan sebagai indikator tata kelola dan integritas perusahaan.
Otoritas pajak di seluruh dunia, termasuk Indonesia, kini memiliki akses lebih luas terhadap data lintas negara melalui Automatic Exchange of Information (AEoI) dan kerja sama internasional.
Artinya, setiap transaksi antar entitas dalam satu grup perusahaan kini berada dalam sorotan penuh transparansi global.

Mengapa Transfer Pricing Menjadi Fokus Utama Pemeriksa Pajak

Transfer pricing (TP) adalah penetapan harga transaksi antar pihak yang memiliki hubungan istimewa — seperti antara kantor pusat dan anak perusahaan, atau antar entitas dalam satu grup.
Konsep ini penting karena harga yang ditetapkan memengaruhi laba yang dilaporkan di masing-masing negara.

Masalah muncul ketika harga transfer digunakan untuk mengalihkan laba ke negara dengan tarif pajak lebih rendah.
Inilah sebabnya otoritas pajak menaruh perhatian besar terhadap dokumentasi dan justifikasi harga antar pihak afiliasi.

Di Indonesia, dasar hukumnya diatur dalam:

Pasal 18 ayat (3) UU PPh

PMK 213/PMK.03/2016 tentang Transfer Pricing Documentation

Dan diperkuat dengan kebijakan Base Erosion and Profit Shifting (BEPS) Action Plan 13 dari OECD.

Tantangan Transfer Pricing di Era Transparansi Digital
1. Pertukaran Data Lintas Negara

Melalui AEoI, DJP kini dapat mengakses informasi rekening dan transaksi lintas negara yang dimiliki oleh entitas grup multinasional.
Data ini digunakan untuk menguji apakah laba yang dilaporkan di Indonesia sesuai dengan aktivitas ekonominya.

Contoh Kasus:
Perusahaan elektronik asal Taiwan memiliki pabrik di Indonesia. Walaupun nilai ekspor dari Indonesia besar, laba yang dilaporkan di Indonesia relatif kecil karena sebagian besar margin ditransfer ke kantor pusat melalui biaya royalti dan jasa manajemen.
Melalui data AEoI, DJP menemukan ketidakseimbangan antara aktivitas ekonomi dan profit. Akibatnya, perusahaan dikenai koreksi transfer pricing dan diminta menyusun Local File serta Master File yang lebih rinci.

2. Analisis Profit Level Indicator (PLI) yang Tidak Konsisten

Banyak perusahaan masih menggunakan comparable data dari luar Indonesia atau tahun-tahun sebelumnya yang sudah tidak relevan.
Padahal, otoritas pajak kini dapat melakukan analisis benchmarking lokal berdasarkan data industri di Indonesia.

Risikonya: Margin laba yang dinilai wajar menurut DJP bisa berbeda jauh dari yang digunakan oleh perusahaan.

Contoh:
PT Asia Parts Indonesia menggunakan margin 3% dalam analisisnya, tetapi DJP menemukan margin industri serupa di Indonesia rata-rata 8%.
Selisih 5% ini menjadi dasar koreksi fiskal yang signifikan.

3. Dokumentasi Transfer Pricing yang Tidak Terintegrasi

Banyak grup multinasional menyiapkan Master File di luar negeri tanpa menyesuaikan dengan konteks lokal.
Sementara Local File di Indonesia sering tidak cukup menjelaskan fungsi, risiko, dan aset (FAR analysis) dari entitas lokal.

Akibatnya, dokumen TP dianggap tidak memadai dan perusahaan dinilai tidak memenuhi kewajiban dokumentasi.

Saran Praktis:
Pastikan Local File menjelaskan peran nyata entitas Indonesia — misalnya fungsi produksi, distribusi, atau R&D — dengan data keuangan yang mendukung.

4. Pembayaran Royalti dan Jasa Manajemen

Transaksi ini menjadi titik rawan pemeriksaan. DJP sering meminta bukti nyata adanya manfaat ekonomi (benefit test).

Contoh:
PT IndoTech, anak perusahaan asal Eropa, membayar jasa manajemen senilai USD 500.000 per tahun ke kantor pusat. Namun, setelah diperiksa, tidak ada laporan atau hasil kerja yang jelas atas pembayaran tersebut.
DJP menilai biaya itu tidak memberikan manfaat langsung dan menolak pengurangannya sebagai beban pajak.
Perusahaan akhirnya dikoreksi dan dikenai PPh Pasal 26 atas pembayaran jasa luar negeri tersebut.

Strategi Transfer Pricing yang Efektif dan Aman
1. Lakukan Functional and Risk Analysis (FAR) Secara Mendalam

Identifikasi fungsi utama, aset yang digunakan, dan risiko yang ditanggung oleh setiap entitas dalam grup.
Pastikan analisis ini diperbarui setiap tahun agar mencerminkan kondisi bisnis terkini.

2. Siapkan Dokumentasi Tiga Lapis (Three-Tiered Documentation)

Sesuai standar OECD dan PMK 213/2016, perusahaan wajib memiliki:

Master File: Gambaran global grup perusahaan, struktur organisasi, dan strategi bisnis.

Local File: Analisis transaksi dan data keuangan entitas di Indonesia.

Country-by-Country Report (CbCR): Laporan distribusi laba dan pajak di seluruh negara tempat grup beroperasi.

3. Terapkan Konsistensi Akuntansi dan Pajak

Pastikan data dalam laporan keuangan, SPT, dan transfer pricing documentation saling mendukung.
Inkonsistensi kecil bisa menjadi indikator risiko pemeriksaan.

4. Lakukan Benchmarking Lokal

Gunakan data pembanding (comparable data) dari industri sejenis di Indonesia agar hasil analisis lebih kredibel dan diterima otoritas pajak.

5. Audit Internal Transfer Pricing

Sebelum DJP memulai pemeriksaan, perusahaan sebaiknya melakukan audit internal untuk mengidentifikasi potensi koreksi sejak awal.
Simulasi audit ini juga membantu menyiapkan argumen dan dokumentasi pendukung jika terjadi klarifikasi.

Peran Konsultan dalam Mitigasi Risiko Transfer Pricing

Bagi banyak perusahaan asing, kompleksitas aturan lokal sering kali menjadi tantangan tersendiri.
Konsultan pajak berpengalaman berperan penting dalam:

Menyusun strategi pricing policy yang sejalan dengan kebijakan global,

Menyesuaikan dokumentasi dengan kebutuhan lokal Indonesia,

Dan mendampingi perusahaan saat audit atau klarifikasi dari DJP.

Contoh Nyata (Disamarkan):
Salah satu klien Rahayu & Partner di bidang otomotif berhasil menghindari koreksi transfer pricing senilai lebih dari Rp 20 miliar setelah dilakukan simulasi audit internal dan penyusunan ulang dokumentasi Local File sesuai standar DJP.

Kesimpulan

Era transparansi global telah mengubah cara otoritas pajak memandang transfer pricing.
Kini, akurasi data, konsistensi dokumentasi, dan kejelasan manfaat transaksi antar afiliasi menjadi faktor penentu dalam menjaga kepercayaan dan kepatuhan pajak.

Perusahaan asing yang beroperasi di Indonesia perlu melihat transfer pricing bukan sekadar kewajiban pelaporan, tetapi sebagai alat strategis untuk membangun tata kelola pajak yang sehat.

Di Rahayu & Partner, kami memahami bahwa setiap bisnis memiliki struktur dan tantangan yang unik.
Kami siap membantu Anda:

Menyusun kebijakan harga transfer yang adil dan wajar,

Memastikan kepatuhan dokumentasi sesuai standar OECD dan DJP,

Serta mendampingi selama proses pemeriksaan dengan pendekatan profesional dan berbasis data.

Transfer pricing yang baik bukan sekadar kepatuhan — ia adalah investasi dalam reputasi dan keberlanjutan bisnis global Anda

Share this:

Komentar Anda

Jadilah yang pertama dalam memberi komentar pada berita / artikel ini
Silahkan Login atau Daftar untuk mengirim komentar
Disclaimer

Member Menu

Tentang Kami

Director of  Rahayu & Partner  (A brand of CV. Rahayu Damanik Consulting, Indonesia) Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh, Welcome to  Rahayu & Partner , the ... Lihat selengkapnya
  • Alamat Kami:
    Cibinong
  • 085210254902 (Telkomsel ) 087874236215 (XL)
  • konsultanpajakrahayu1@gmail.com
Developed by Naevaweb.com