Indonesia sejak lama menghargai nilai-nilai seperti kekeluargaan, gotong royong, dan demokrasi. Salah satu contohnya dapat dilihat di Sumatera Selatan, di mana konsep pemerintahan Marga telah ada sebelum terbentuknya NKRI.
Marga adalah bentuk pemerintahan paling rendah berdasarkan hukum adat. Ini mencakup area geografis setara dengan kecamatan modern, tetapi dengan kewenangan yang lebih besar. Pemerintahan Marga berdasarkan garis keturunan atau suku bangsa, dan tunduk pada otoritas tertinggi, seperti sultan-sultan Palembang, Hindia Belanda, dan pemerintah Indonesia.
Marga memiliki otonomi luas dalam pemerintahan dan ekonomi mereka. Mereka mengumpulkan dana dari berbagai sumber, termasuk pajak, untuk memenuhi kebutuhan marga, seperti pembangunan infrastruktur, penggajian pegawai, dan pemeliharaan budaya adat.
Pajak dalam konteks Marga dipungut dari masyarakat kelas menengah ke atas, saudagar, dan pemukim asing. Pajak yang terkumpul digunakan untuk berbagai kepentingan marga, termasuk meningkatkan kesejahteraan dan memastikan pemerataan dalam hal sandang, pangan, dan papan.
Selain pajak, ada juga konsep ekonomi bernama Milir Sebah, yang merupakan kewajiban bagi marga yang makmur untuk mengirimkan hasil bumi kepada sultan-sultan Palembang sebagai wujud kesetiaan.
Meskipun ada perubahan dan tantangan selama masa pemerintahan Marga, mereka tetap mampu menjaga stabilitas ekonomi dan melaksanakan pajak dengan efektif. Seiring dengan masuknya konsep perpajakan modern oleh pemerintah Hindia Belanda, peran Marga mulai menyusut, tetapi mereka tetap berfungsi sebagai pelaksana pemerintahan setempat hingga tahun 1983.
Komentar Anda