Contact Whatsapp085210254902

Dilema yang dihadapi oleh Wajib Pajak dalam mencari keadilan melalui Upaya Hukum Keberatan dan Banding.

Ditulis oleh Administrator pada Rabu, 02 Oktober 2024 | Dilihat 478kali
Dilema yang dihadapi oleh Wajib Pajak dalam mencari keadilan melalui Upaya Hukum Keberatan dan Banding.

Apakah para pelaku usaha pernah berada dalam situasi yang sulit saat ingin melakukan upaya hukum? Jika ya, hal ini dapat berdampak signifikan terhadap kelangsungan bisnis mereka. Jika belum, semoga Anda tidak akan mengalami keadaan tersebut. Berikut ini adalah pandangan saya mengenai pengenaan sanksi berupa denda dalam proses upaya hukum keberatan dan banding pajak. Berdasarkan aturan terbaru dalam UU HPP, sanksi denda telah mengalami revisi; yang sebelumnya 50% pada tahap keberatan kini menjadi 30%, dan dari 100% pada tahap banding menjadi 60%. Penurunan denda ini tentunya memberikan harapan baru bagi wajib pajak yang sedang bersengketa. Namun, dalam konteks ini, saya ingin menyoroti apakah sanksi denda tersebut wajar atau tidak.

Sasaran utama pelaku usaha adalah meraih keuntungan. Sebagai wajib pajak, mereka memiliki berbagai tingkat margin keuntungan yang diharapkan. Ada usaha yang meraih margin tinggi, sekitar 30% atau lebih dari total biaya, namun diimbangi dengan risiko dan modal yang tinggi. Di sisi lain, banyak usaha dengan margin kecil, kurang dari 5%, sehingga mereka harus berjuang melalui peningkatan volume penjualan. Namun, bagaimana jika usaha dengan margin kecil ini terpaksa menghadapi risiko sanksi pajak yang mungkin lebih besar dari margin yang mereka miliki?

Menurut PMK 17/2013 yang diubah oleh PMK 18/2021, "temuan hasil pemeriksaan harus didasarkan pada bukti yang kompeten dan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan perpajakan." Namun, aturan ini tidak selalu diterapkan dengan baik, terutama dari perspektif wajib pajak. Banyak wajib pajak merasa bahwa hasil pemeriksaan pajak tidak didukung oleh bukti yang cukup dan tidak sesuai dengan aturan yang ada. Meski undang-undang perpajakan memberi kesempatan kepada wajib pajak untuk melakukan upaya hukum jika tidak setuju dengan hasil pemeriksaan, keberhasilan dalam upaya hukum sengketa pajak dipengaruhi oleh banyak faktor.

ditemukan koreksi pemeriksaan pajak dengan nilai yang mencengangkan, bahkan beberapa dasar pengenaannya bisa mencapai 40 hingga 50% dari omzet wajib pajak. Jika tarif PPh Badan adalah 25%, pajak terutang bisa berkisar antara 10% hingga 12,5% dari omzet. Ditambah sanksi 2% per bulan, total pajak yang harus dibayar dapat mencapai 15% dari omzet wajib pajak. Bagaimana mungkin pelaku usaha dengan margin kurang dari 5% harus membayar pajak yang bisa mencapai 15% dari omzet mereka?

Berikut adalah beberapa pertanyaan yang mencerminkan situasi yang dihadapi wajib pajak:

- Apakah semua hasil pemeriksaan pajak didasarkan pada bukti yang kompeten dan sesuai dengan aturan perpajakan yang berlaku? Jawabannya adalah tidak selalu.

- Apakah koreksi pemeriksaan pajak yang tidak didasarkan pada bukti kompeten dan aturan perpajakan akan selalu dibatalkan dalam permohonan keberatan atau banding? Jawabannya juga tidak selalu.

- Apakah wajib pajak selalu memiliki bukti yang cukup dan argumen kuat untuk mengajukan keberatan dan banding atas koreksi pemeriksaan pajak yang tidak didasarkan  pada bukti kompeten? Jawabannya tidak selalu.

- Apakah setiap wajib pajak selalu mampu membayar jumlah pajak yang tercantum dalam Surat Ketetapan Pajak? Sekali lagi, jawabannya adalah tidak selalu.

Dari jawaban di atas, kita dapat melihat bahwa ada kondisi di mana wajib pajak tidak memiliki kemampuan untuk membayar pajak terutang yang tercantum dalam SKP, tetapi harus tetap mengajukan keberatan dan banding terhadap temuan hasil pemeriksaan yang tidak berdasarkan bukti yang kompeten. Jika, karena beberapa faktor, wajib pajak tersebut kalah dalam proses keberatan dan banding—faktor-faktor tersebut dapat berupa pencatatan yang kurang rapi, perbedaan pandangan yuridis, atau bukti yang tidak cukup kuat—ini akan memperburuk posisi wajib pajak. Selain harus membayar pajak terutang sesuai SKP, mereka juga harus membayar sanksi denda 30% atau 60% dari pajak yang harus dibayar.

Situasi ini menciptakan ketidaksetaraan risiko bagi wajib pajak ketika mereka melakukan upaya hukum dan memasuki proses peradilan. Wajib pajak yang memiliki arus kas yang baik mungkin dapat menghindari sanksi denda 30% atau 60%. Namun, bagi mereka yang kesulitan dengan arus kas, ini dapat menjadi masalah besar saat berjuang untuk hak mereka dalam upaya hukum keberatan dan banding yang hasilnya tidak bisa dipastikan. Selain itu, hal ini tidak sejalan dengan prinsip peradilan yang seharusnya dijalankan dengan biaya minimal, karena tampaknya untuk melindungi posisi wajib pajak dari risiko sanksi 30% atau 60%, mereka harus membayar penuh pajak yang tercantum dalam SKP sebelum mengajukan surat keberatan.

Menurut Pasal 25 ayat (8) UU KUP, pajak yang belum dibayar saat mengajukan keberatan tidak termasuk sebagai utang pajak. Ini berarti bahwa pajak yang masih dalam proses sengketa keberatan dan banding belum menjadi kewajiban bagi wajib pajak, sehingga tidak relevan jika wajib pajak dikenakan sanksi 30% dan 60% jika mereka kalah dalam pengajuan keberatan dan banding. Seharusnya, pengenaan sanksi pasal 13 ayat (2) atas hasil pemeriksaan sudah cukup sebagai hukuman bagi wajib pajak tanpa perlu menambah risiko sanksi denda 30% dan 60%.

Jika wajib pajak mengajukan upaya hukum keberatan hingga putusan banding, proses ini bisa memakan waktu 3 tahun atau lebih. Artinya, ketika diwajibkan untuk membayar penuh nilai SKP demi menghindari sanksi 30% dan 60%, wajib pajak harus menghadapi risiko arus kas yang tertahan selama 3 tahun atau lebih. Seringkali, jumlah yang harus dibayarkan untuk nilai SKP bisa digunakan sebagai tambahan modal atau biaya operasional usaha wajib pajak. Di sisi lain, Direktorat Jenderal Pajak tidak akan menanggung risiko pengembalian pajak sebesar 30% dan 60% yang telah dibayar jika mereka mengabulkan keberatan wajib pajak atau kalah dalam proses banding. Hal ini menimbulkan ketidaksetaraan hukum antara posisi wajib pajak dan Direktorat Jenderal Pajak dalam upaya hukum keberatan dan banding. Oleh karena itu, menurut pendapat saya, pengenaan sanksi denda 30% dan 60% tidak mencerminkan asas keadilan dan asas biaya yang ringan bagi wajib pajak yang akan melakukan upaya hukum keberatan dan banding.

Share this:

Komentar Anda

Jadilah yang pertama dalam memberi komentar pada berita / artikel ini
Silahkan Login atau Daftar untuk mengirim komentar
Disclaimer

Member Menu

Tentang Kami

Director of  Rahayu & Partner  (A brand of CV. Rahayu Damanik Consulting, Indonesia) Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh, Welcome to  Rahayu & Partner , the ... Lihat selengkapnya
  • Alamat Kami:
    Cibinong
  • 085210254902 (Telkomsel ) 087874236215 (XL)
  • konsultanpajakrahayu1@gmail.com
Developed by Naevaweb.com