Kelas menengah di Indonesia mengalami penurunan ekonomi, yang berpotensi besar memperlambat konsumsi rumah tangga, dan dampaknya dapat menghambat pertumbuhan ekonomi nasional. Kelompok ini turun ke kelas menengah bawah, atau yang disebut *aspiring middle class* (AMC), padahal peran mereka dalam perekonomian sangat penting. Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira, menilai bahwa pemerintah perlu segera mengambil tindakan cepat untuk mengatasi situasi ini, salah satunya dengan memberikan insentif Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21 Ditanggung Pemerintah (DTP) untuk penghasilan bruto hingga Rp200 juta per tahun.
Merujuk pada Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 (UU PPh), PPh Pasal 21 adalah pajak yang dipotong atas penghasilan terkait pekerjaan, jasa, atau kegiatan yang diterima oleh Wajib Pajak Orang Pribadi dalam negeri. Sementara itu, pajak DTP adalah pajak yang seharusnya dibayar oleh wajib pajak, namun ditanggung oleh pemerintah dengan anggaran yang telah ditetapkan dalam APBN, kecuali ditentukan lain dalam UU APBN (Pasal 1 angka 1 PMK 228/2010).
"Karena penurunan kelas menengah ini dapat mengakibatkan perlambatan konsumsi rumah tangga, pemerintah perlu memberikan solusi cepat. Salah satunya dengan memberikan insentif PPh Pasal 21 DTP untuk penghasilan bruto hingga Rp200 juta per tahun," ujar Bhima kepada MNC Portal Indonesia di Jakarta.
Bhima juga menyarankan agar pemerintah menunda kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen, bahkan lebih baik jika tarif tersebut diturunkan menjadi 9 persen untuk menjaga daya beli kelas menengah. Kenaikan PPN menjadi 12 persen merupakan salah satu penyesuaian pajak yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). Berdasarkan Pasal 7 ayat 1 UU HPP, tarif PPN yang sebelumnya sebesar 10 persen dinaikkan menjadi 11 persen sejak 1 April 2022, dan direncanakan naik lagi menjadi 12 persen paling lambat 1 Januari 2025.
Selain itu, Bhima menyarankan agar pemerintah memperluas cakupan bantuan sosial, seperti BLT, untuk kelas menengah rentan, serta meningkatkan anggaran subsidi pupuk guna mencegah lonjakan inflasi pangan. "Potongan bagi aplikator ojek online (ojol) juga perlu diturunkan," tambahnya. Ia menjelaskan bahwa saat ini, kelas menengah cukup terbebani oleh pajak, terutama PPN yang bersifat regresif, di mana tarif pajak yang sama diberlakukan untuk semua konsumen, tanpa memperhitungkan kelas ekonomi mereka. "PPN ini cukup memberatkan karena sifatnya regresif, tarif pajaknya sama, tak peduli konsumen berasal dari kelas ekonomi mana," tutup Bhima.
Komentar Anda