
Pada bulan September 2023, Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD)/G20 Inclusive Framework on BEPS telah menyelesaikan pembicaraan mengenai Konvensi Multilateral untuk Memfasilitasi Implementasi Aturan Subjek Pajak Pilar Kedua (Subject to Tax Rule Multilateral Instrument/STTR MLI). STTR MLI dianggap dapat meningkatkan pendapatan negara berkembang, termasuk Indonesia, melalui pajak, karena dapat diterapkan secara langsung pada perjanjian pajak bilateral yang ada tanpa perlu melakukan negosiasi bilateral. Namun, apa sebenarnya STTR ini? Bagaimana ruang lingkup dan pelaksanaannya? Kami akan memberikan penjelasan untuk memahami STTR lebih lanjut.
Apa itu STTR?
Menurut OECD, STTR merupakan bagian integral dari konsensus yang dicapai dalam Pilar Kedua dan sangat vital bagi anggota BEPS Inclusive Framework yang sedang berkembang. STTR dianggap sebagai instrumen yang efektif dan efisien dalam menangani masalah pajak yang timbul akibat ekonomi digital.
Sekretaris Jenderal OECD, Mathias Cormann, menyatakan bahwa instrumen multilateral baru ini adalah bagian dari rencana besar untuk mereformasi sistem pajak global, menunjukkan bahwa kerja sama internasional dapat memberikan manfaat bagi negara-negara berkembang. STTR diharapkan dapat menjadikan sistem pajak global lebih stabil, adil, dan efektif.
Pilar Kedua terdiri dari dua aturan domestik yang saling terkait, yaitu IIR dan UTPR (bersamaan dengan Aturan Global anti-Base Erosion/GloBE Rules), serta aturan berbasis perjanjian yang disebut STTR. Aturan GloBE memastikan bahwa perusahaan multinasional membayar pajak setidaknya sebesar tarif minimum yang telah ditetapkan.
Jika perusahaan multinasional mendapatkan pendapatan dari negara dengan tarif pajak rendah, negara asal perusahaan dapat menarik pajak lagi hingga mencapai tarif minimum. Di sisi lain, STTR melengkapi aturan-aturan tersebut dan menyesuaikan prinsip-prinsip serta mekanisme dasar yang berlaku untuk perjanjian pajak antarnegara.
Menurut dokumen resmi yang dirilis oleh Sekretariat OECD, STTR memungkinkan negara asal pendapatan menarik pajak tambahan jika pendapatan tersebut berasal dari pembayaran antara perusahaan yang saling berkaitan dan pajak di negara penerima kurang dari 9 persen.
Secara sederhana, STTR memberikan wewenang kepada suatu yurisdiksi untuk menarik pajak tambahan dari perusahaan multinasional yang memperoleh pendapatan dari negara lain dengan tarif pajak rendah. Penting untuk dicatat bahwa STTR tidak menciptakan kewajiban pajak baru, tetapi memberikan wewenang kepada yurisdiksi untuk menarik pajak tambahan (topup tax) jika perjanjian pajak antarnegara tidak mengizinkan.
Jika tidak ada perjanjian pajak antarnegara, negara asal pendapatan sudah dapat menarik pajak dari pembayaran antara perusahaan yang saling berkaitan, dan STTR tidak perlu diterapkan. Begitu pula, jika perjanjian pajak antarnegara memungkinkan negara asal pendapatan menarik pajak lebih dari 9 persen dari pembayaran antara perusahaan yang saling berkaitan, STTR juga tidak diperlukan.
OECD mencatat bahwa negara-negara yang memajaki pembayaran antara perusahaan yang saling berkaitan kurang dari 9 persen telah berkomitmen untuk menerapkan STTR dalam perjanjian pajak antarnegara mereka dengan negara-negara berkembang yang meminta untuk melakukannya.
Dengan demikian, STTR memberikan peluang bagi negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, untuk menarik topup tax atau pajak selisih dari tarif Pajak Penghasilan (PPh) yang berlaku. STTR memungkinkan negara-negara berkembang untuk menarik pajak dari pembayaran antara perusahaan yang saling berkaitan, jika tarif PPh yang dikenakan kurang dari 9 persen.
Apa saja cakupan STTR?
STTR berlaku untuk pembayaran yang terjadi antara pihak yang memiliki hubungan bisnis. Dua perusahaan dianggap memiliki hubungan bisnis jika perusahaan tersebut dikendalikan oleh orang yang sama (atau sekelompok orang) secara hukum (memiliki saham lebih dari 50 persen) atau secara faktual.
Namun, STTR tidak berlaku jika penerima pembayaran adalah:
- Individu biasa;
- Organisasi sosial;
- Pemerintah, atau bagian dari pemerintah;
- Organisasi antarnegara;
- Dana investasi yang memenuhi syarat tertentu (termasuk dana pensiun); atau
- Perusahaan yang dimiliki oleh penerima yang tidak termasuk dalam STTR.
OECD juga menegaskan adanya aturan khusus untuk mencegah penggunaan perusahaan lain untuk menghindari STTR.
Secara umum, STTR berlaku untuk berbagai jenis transaksi, termasuk pembayaran bunga, royalti, hak menjual produk atau layanan, premi asuransi atau reasuransi, biaya jaminan atau pembiayaan, pembayaran sewa untuk peralatan industri, komersial, atau ilmiah, dan pembayaran untuk jasa.
Jumlah pajak tambahan yang dapat ditarik oleh negara asal pendapatan adalah 9 persen dikurangi pajak yang sudah dibayar di negara penerima dan pajak yang sudah ditarik oleh negara asal pendapatan berdasarkan perjanjian pajak antarnegara.
Sebagai contoh, jika negara asal pendapatan dapat menarik pajak sebesar 5 persen dari pembayaran antara perusahaan yang saling berkaitan, dan negara penerima hanya memajaki pembayaran tersebut sebesar 1 persen, maka negara asal pendapatan dapat menarik pajak tambahan sebesar 3 persen (9% – 5% – 1% = 3%).
Tarif pajak STTR adalah tarif pajak yang berlaku untuk jenis pendapatan tersebut. Namun, tarif pajak STTR dapat lebih rendah jika ada penyesuaian preferensial. Penyesuaian preferensial melibatkan elemen-elemen yang mengurangi jumlah pajak yang harus dibayar secara permanen, memberikan keringanan atau pembebasan pajak, mengurangi pajak tanpa pembayaran yang setara, atau memberikan kredit pajak berdasarkan jumlah pendapatan (tidak termasuk kredit pajak dari negara lain). Penyesuaian preferensial ini berkaitan langsung dengan pembayaran antara perusahaan yang saling berkaitan atau termasuk dalam aturan yang memberikan keringanan pajak untuk pendapatan dari kegiatan yang dapat dilakukan di mana saja.
Bagaimana pelaksanaan STTR?
OECD menjelaskan bahwa pelaksanaan STTR dapat dilakukan melalui dua cara. Pertama, dengan menggunakan instrumen multilateral yang disediakan oleh OECD.
"Instrumen multilateral ini dapat mengubah dan menambahkan STTR ke dalam perjanjian pajak antarnegara yang sudah ada," kata OECD.
Kedua, dengan melakukan negosiasi bilateral dengan negara-negara lain untuk memasukkan STTR ke dalam perjanjian pajak antarnegara yang baru atau yang direvisi.
"OECD juga membantu negara-negara berkembang untuk menerapkan STTR ke dalam perjanjian pajak antarnegara mereka," demikian OECD menyimpulkan.
Untuk konten edukasi perpajakan lainnya kalian bisa kunjungi link dibawah ini
https://youtube.com/@setianingrahayu2523?si=6zkwXhPGbEBC8tVU
Komentar Anda