Pemerintah Indonesia, khususnya Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, menghadapi tantangan terkait prospek penerimaan pajak yang sangat dipengaruhi oleh volatilitas ekonomi global dan perubahan dalam basis penerimaan. Ini terutama terkait dengan ekspor komoditas, seperti batubara, nikel, dan kelapa sawit, yang merupakan sumber pendapatan utama negara dalam bentuk Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP).
Meskipun terjadi penurunan dalam volume ekspor pada periode tertentu, Sri Mulyani mencatat bahwa penurunan ini masih cukup terkendali. Namun, dia juga memperhatikan tren penurunan harga komoditas energi dan pangan yang akan berlanjut di masa mendatang. Penurunan ini diperkirakan akan berdampak pada penerimaan pajak di masa depan.
Selain itu, Direktur Jenderal Pajak Suryo Utomo menambahkan bahwa penerimaan pajak kemungkinan akan melambat hingga tahun 2024 karena kondisi ekonomi dan harga komoditas yang berfluktuasi. Dia juga menyoroti pentingnya ekspansi layanan dan penegakan hukum yang konsisten dalam meningkatkan penerimaan pajak.
Meskipun demikian, Sri Mulyani dan Suryo Utomo tetap optimis mengenai penerimaan pajak di Indonesia. Mereka mencatat bahwa aktivitas ekonomi domestik terus meningkat, dan penerapan Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) akan mendukung penerimaan negara. Meskipun terdapat penurunan pajak akibat penurunan harga komoditas global, Sri Mulyani mencatat bahwa penerimaan PNBP hingga April 2023 masih mencapai 22,8% dari target APBN 2023.
Meskipun demikian, perlu dicatat bahwa pertumbuhan PNBP melambat dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya, terutama karena kontraksi dalam PNBP Migas akibat penurunan harga minyak. Di sisi lain, PNBP SDA Non Migas tumbuh signifikan karena harga batubara yang tinggi. Dividen dari BUMN di sektor perbankan juga tumbuh, tetapi sejumlah komponen PNBP lainnya mengalami kontraksi, terutama dari lembaga seperti Kepolisian dan Kementerian/Lembaga lainnya.
Komentar Anda